PENGARUH BUDAYA TUTUR YANG BERBEDA BAGI KELANGSUNGAN HIDUP MANUSIA
Perkembangan bahasa, ekspresi, dan tutur di setiap
zaman selalu berubah. Perubahan seperti
ini akan banyak ditentukan oleh perbedaan sikap dan pandangan seseorang atau
kelompok masyarakat yang tercermin dalam berbagai aspek kehidupan termaksud tingkat kemajuan masyarakat yang sudah
tersentuh oleh pendidikan. Perbedaan bahasa yang bersifat significant akan
melahirkan masyarakat tutur baik sekelompok orang dalam ruang lingkup yang luas
atau pun sempit yang berinteraksi dengan bahasa tertentu yang dapat dibedakan
dengan kelompok masyarakat tutur yang lain (Gumperz,1971,114). Kelompok
masyarakat tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tutur 4 generasi yaitu Traditional generation, baby
boomer, generation x, dan millennium generation.
Generasi
tradisioanl (Traditional Generation) adalah
kelompok orang yang lahir antara tahun 1933-1945. Masyarakat pada periode ini
lebih dikenal sebagai silent generation.
Hal ini disebabkan karena mereka hidup di zaman penjajahan dimana penderitaan
seperti kelaparan, penyiksaan fisik, katakutan yang berlebihan membuat mereka lebih memilih untuk diam dan berbicara sesuatu yang
hanya dianggap penting. Keadaan ini dipertegas ketika freedom to speak dan freedom
to express yang merupakan entitas
manusiawi tidak diperbolehkan pada era ini. Akan tetapi, kesadaran akan
susahnya hidup yang merupakan dampak dari keterpurukan ekonomi mampu membentuk
pribadi masyarakat yang kiat dan disiplin
(self discipline generation).
Generasi yang kedua disebut Baby Boomer Generation yakni kelompok orang yang lahir antara tahun
1946 dan 1966. Kecenderungan demografis baby boomer cukup menarik karena mereka
akan mempengaruhi berbagai aspek termasuk pekerjaan, perawatan kesehatan,
imigrasi, kebijakan pajak dan bahkan perekonomian. Keadaan ini disebabkan karena
tingkat ekonomi yang semakin mapan serta pengembangan IPTEK sudah mulai
transparan yang diitandai dengan penyebaran pendidikan yang hampir merata
disegala bidang. Sehingga, tidak mengherankan high competitive menjadi tipe utama masyarakat pada era ini, dengan
tuturan yang lebih berani, agresif, dan optimis bahkan terkesan double speak sebagai
dampak dari ketatnya persaingan ekonomi
dan politik.
Setelah generasi Baby Boomer muncul
yang namanya generasi X yang lahir antara tahun 1960-1980. Sebagian besar orang-orang dari generasi ini
biasanya dianggap sebagai apatis, sinis, skeptis, penyendir, pesimis, terasing
dan tidak percaya pada nilai-nilai tradisional dan lembaga. Sikap tersebut
disebabkan karena tingkat perceraian sangatlah tinggi. Sehingga, kebanyakan
individu yang lahir pada era ini tumbuh
dalam ruang lingkup keluarga yang broken
home. Namun, generasi ini mampu berwira usaha sendiri dan ahli dalam penguasaan
teknologi sehingga memberikan banyak kontribusi pada pertumbuhan internet yang
mulai berkembang pada waktu itu.
Generasi terakhir yaitu generasi Y, juga dikenal
sebagai Boom Echo, atau Generasi
Millenium. Generasi millenium digunakan
untuk menggambarkan orang yang lahir setelah Generasi X, biasanya terdiri dari
orang-orang yang lahir pada tahun 1980-an dan 2000-an. Sebagian besar
orang-orang yang termasuk generasi ini dianggap kasar, memberontak,
menuntut, tidak sabar, dan rata-rata mengalami tingkat stress tinggi. Generasi Millennials juga dibesarkan dalam konteks di mana teknologi digital. Oleh
karena itu, Millennials dianggap mahir dengan komputer, kreatif dengan
teknologi dan, di atas semua, multitasking sangat terampil di dalam dunia di
mana mana-mana sambungan diterima begitu saja.
Inilah sebabnya mereka juga sering disebut sebagai Net Generation.
Biasanya kehidupan sehari-hari mereka disifatkan melalui komunikasi langsung melalui
instan messenger, seluler percakapan atau pesan teks. Sehingga, tidaklah
meherankan apabila banyak generasi sekarang ini sudah mempunyai e-mail sendiri
untuk berinteraksi face to face di
dunia maya yang tanpa sadar pada akhirnya dapat membentuk pribadi yang
individualist.
Dari
penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa perbedaan cara tutur, bahasa, dan
ekpersi dari empat periode tersebut dilaterbelakangi perbedaan ciri fisik, kepribadian, status sosial, politik, ekonomi,
tingkat pendidikan, asal kedaerahan mau pun Negara yang hakikatnya berbeda-beda.
Berbicara masalah
politik, ketatnya persaingan hidup di era globalisasi sekarang ini mau tidak
mau memaksakan setiap individu untuk lebih berkompetent dalam bertutur demi
kelangsungan hidup kedepanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka berbagai cara pun ditempuh oleh orang-orang
yang bergelut di panggung politik, sebut saja para pejabat pemerintahan. Para
pejabat pemerintahan khususnya di Indonesia, sering memanfaatkan penggunaan
tutur ganda “Double Speak” yang
merupakan instrumen tutur untuk menyembunyikan kekerasan sekaligus memperkuat
regim. Salah satu bukti pemakaian double speak ketika para pelaku korupsi hendak
ditahan tidak lansung dikatakan bahwa dia akan ‘ditahan’ tetapi mereka akan mengatakan ‘diamankan’.
Sebenarnya
secara logis, maraknya penggunaan double
speak di antara pejabat pemerintahan bukan karena hasil pemikiran yang
ceroboh, atau kurangnya pengetahuan mereka dalam mengkomunikasikan kasus-kasus
korupsi yang banyak muncul dipermukaan. Tetapi itu merupakan bagian dari
strategi atau permainan bahasa yang dirancang dalam rangka menyesatkan dan mengubah realitas yang ada supaya masyarakat
awan yang terbiasa menggunakan bahasa lantai (floor languages) dapat
terkecoh dan menganggap masalah yang terjadi tidak perlu dibesar-besarkan. Oleh
karena itu, secara kritis permainan bahasa seperti ini dalam dunia politik sama
halnya menipu rakyat secara
terang-terangan. Meski pun diakui tidak selamanya penggunaan double speak
tersebut mengarah pada hal yang negatif, tergantung niat dan tujuan si
pembicara itu sendiri.
Dari sinilah kita bisa mengetahui bahwa dengan
bahasa kita bisa menipu, mempengaruhi, bahkan mengenal kepribadian maupun
karakter seseorang melalui sebuah sarana yang disebut komunikasi. Peranan bahasa sebagai alat
komunikasi bertujuan untuk membentuk dan membina hubungan sosial dalam
mayarakat. Pernyatan di atas senada dengan pendapat Nababan, bahwa fungsi bahasa untuk komunikasi, yaitu
sebagai alat pergaulan dan perhunbungan
antara sesama manusia sehingga membentuk suatu sistim sosial masyarakat
(199:1l). Menjadi seorang Public Relation,
keahlian berkomunikasi di depan publik merupakan hal yang penting sekali untuk
dilakukan. Sebab, salah satu tanggung jawab seorang public relation itu sendiri
adalah menyakinkan publik akan sesuatu atau membuat masyarakat mengerti dan menerima
sesuatu. Public relation dapat digunakan untuk membangun hubungan dengan
karyawan, pelanggan, investor, pemilih, atau masyarakat umum.
Dengan
demikian, sebagai seorang “public
relation” sebelum tampil keranah publik persiapan mental adalah hal pertama yang sangat dianjurkan
untuk dilakukan, supaya kita terhindar dari sifat gerogi dan tidak percaya
diri ketika sedang berhadapan dengan
publik. Kedua, keahlian mengetahui dan
memahami ciri atau tipe-tipe orang yang hendak dihadapi sangatlah penting
untuk diperhatikan. Maksudnya, ketika kita berada pada ruang lingkup
masyarakat yang sebagian besar tidak mengencam pendidikan, kita harus fleksibel untuk tidak menggunakan bahasa yang
kualitasnya sulit dicerna atau dipahami oleh masyarakat awan. Begitu pun sebaliknya, ketika yang diajak bicara itu
adalah para mahasiswa, pejabat dan orang-orang terpelajar, tentunya bahasa yang
kita gunakan haruslah sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka. ketiga, secara operasional seorang public relation bertugas
membina hubungan harmonis antara organisasi dengan publiknya dan mencegah
timbulnya rintangan psikologis yang mungkin terjadi diantara keduanya.
Sehingga, memahami kondisi jiwa setiap individu mau pun kelompok baik internal
mau pun eksternal sangat penting sekali untuk dilakukan, karena semakin
individu bersikap terbuka satu sama lain, maka hubungan yang terjalin diantara
mereka akan semakin kuat dan bertahan lama. Keempat, seorang public relation
juga dituntut untuk mampu menjadi penutur yang berkompetent (fully pledge speaker). Penutur yang
berkompetent memiliki pengetahuan mengenai kaidah-kaidah bahasa (rules of spaking), misalnya pengetahuan
bagaimana memulai pembicaraan yang dapat digunakan dalam berbagai peristiwa
tutur (speech event), pengetahuan mengenai pemilihan bentuk-bentuk sapaan
(address form) yang digunakan untuk menyapa orang-orang yang status sosial yang
beragam, dan dalam situasi pembicaraan yang berbeda pula, termaksud bagaimana
berbicara secara wajar. Terakhir, seorang public relation dapat dikatakan
sebagai gudangnya informasi (ware house of information). Maka, setiap peristiwa atau kejadian
yang terbaru (up to date) harus mampu
diketahui olehnya baik di dalam maupun luar Negeri.
Apabila
seorang public relation tidak memperhatikan bahkan mengindahkan ke lima poin diatas, lebih-lebih informasi
yang kita berikan itu salah serta kita gagal untuk bisa meyakinkan sepenuhnya
kepada publik tentang apa yang menjadi tujuan utama kita, maka konsekuensinya, akan berdampak buruk pada citra
organisasi, perusahaan, dan berbagai instasi yang terkait dengan perkerjaan
kita sebagai seorang public relation dan yang paling parah yakni kita tidak
akan dipercayai lagi oleh individu maupun kelompok tertentu termaksud instansi
tempat kita bekerja. Sebab, apa-apa yang kita bicarakan adalah sebuah omong
kosong belaka.
Kegagalan
tersebut juga bisa terpicu karena tidak adanya pengetahuan dan pemahaman kita
mengenai budaya tutur suatu kaum baik disetiap daerah, provinsi, maupun di
setiap Negara. Pengetahuan dan pemahaman itu dianggap perlu karena di era
globalisasi ini, mempelajari budaya tutur dari suatu kaum sangat penting sekali
untuk berhubungan dan membina kerjasama dengan lainya. Disamping itu, gegar
budaya (Culture Schok) dapat kita hindari ketika tiba-tiba kita diharuskan
untuk pergi dan menetap di daerah mau
pun di Negara lain dengan tujuan tertentu. Sebab, semakin banyak perbedaan
budaya seseorang dengan budaya baru yang dimasukinya, maka akan semakin banyak pula gegar budaya yang dialaminya.
Sebagai
orang Bima (Nusa Tenggara Barat), gegar budaya sering saya alami ketika
dihadapkan dengan kata-kata atau pun kalimat orang Bugis-Makassar seperti de
gagae (tidak ada), Bote (bohong), dan iye
(iya). De gagae dalam konsep
pengertian orang Bima merupakan suatu ekspresi kekaguman akan kecantikan
seorang perempuan atau pun benda yang dianggap indah, yang artinya sungguh
cantik atau bagus. Masalah yang sama dialami ketika orang Bugis-Makasar
menempatkan kata iye sebagai ucapan yang lebih sopan ketika kita berbicara
dengan orang yang lebih tua dibanding kata iya. Tetapi kata iya/iyo
dalam konsep tutur masyarakat Bima
penempatanya sejajar dengan kata iye orang Bugis-Makassar. Begitu pun dengan
kata Bote. Di Bima kata Bote merupakan sebutan untuk binatang
yang bernama monyet. Sehingga, tidaklah
mengherankan banyak mahasiswa dari Bima sebelum tahu arti kata ini, awalnya tersinggung ketika kata tersebut
diucapkan oleh lawan bicaranya.
Dalam
hal ini juga, tidak hanya masyarakat terbelakang mengalami gegar budaya, masyarakan
yang lebih maju pun memungkinkan merasakan hal yang sama. Orang Jepang yang
pertama kali datang ke Indonesia khusunya di Makasaar akan salah mengartikan
kata iye. Pengucapan kata iye hampir sama kedengaranya dengan kata
‘Iie’
dalam bahasa Jepang yang berarti bukan/
tidak.” Sehingga ketika orang Jepang bertanya “apakah disni toilet wanita?”
Orang Makasaar menjawab “iye (berarti iya, disini toilet wanita),” tetapi interpretasi orang jepang malah menyimpulkan bukan, disini bukan toilet wanita.
Oleh karena itu, pengetahuan budaya tutur
suatu daerah mau pun di setiap Negara dapat dijadikan strategi yang ampuh bagi
kita untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul diatas, termasuk pengeahuan tentang bagaimana menggunakan
respos tipe-tipe tindak kultur yang berbeda-beda serta memahami faktor-faktor sosial seperti ciri fisik
berupa organ bicara (organ of speech), kepribadian yang berbeda, asal daerah
yang berbeda, latar belakang agama, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat
pendidikan, dan umur seseorang. Tindakan tersebut sangat penting sekali perananya,
sebab kita sadar bahwa di era globalisasi ini individu atau kelompok individu dalam lingkup yang paling
kecil sampai dengan lingkup yang paling besar tidak lagi dapat hidup mandiri
tanpa dukungan atau bantuan kelompok lain. Untuk itu, adanya saling pengertian dan penghargaan
terhadap sikap dan pandangan hidup orang atau kelompok yang lain menjadi
semakin penting agar hubungan itu dapat berjalan secara harmonis. Terciptanya
hubungan yang harmonis adalah syarat mutlak kelangsungan hidup peradaban umat
manusia di muka bumi ini.
Nurfitriana Abd Majid
Comments
Post a Comment