Berbagai Pendekatan Sosiologi Sastra
Berbagai Pendekatan Sosiologi Sastra
Umar Junus mengemukakan terdapat enam point penting yang
menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra yaitu:
1. karya sastra dilihat
sebagai dokumen sosial budaya
2. Penelitian
mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastera
3. Penelitian tentang
penerimaan masyarakat terhadap (sebuah) karya seorang penulis tertentu dan apa
sebabnya
4. Pengaruh sosial budaya
terhadap penciptaan. Misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan ‘bangsa’
dan pendekatan Marxist yang berhubungan dengan pertentangan kelas
5. Pendekatan genetik
strukturalisme dari Goldmann
6. Pendekatan Duvignaud
yang melihat mekanisme iniversal dari seni, termasuk sastera.
Melalui makalah ini, akan dipaparkan secara singkat mengenai
keenam poin di atas.
1. Karya Sastra di Lihat Sebagai dokumen budaya
Karya sastra dilihat sebagai dokumen budaya merupakan wilayah
kajian sosiologi sastra yang mencatat kenyataan sosiobudaya suatu masyarakat
pada masa tertentu (Junus, 1986), mengkaji sastra sebagai bias (refract) dari
realitas (Harry Levin).
Isi karya sastra yang berkaitan dengan masalah sosial, dalam hal
ini sering kali dipandang sebagai dokumen sosial, atau sebagai potret kenyataan
sosial (Wellek dan Warren, 1994). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Thomas
Warton (via Wellek dan Warren, 1994) terhadap sastra Inggris, dibuktikan bahwa
sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Sastra menurut Warton,
mampu menjadi gudang adat istiadat, buku sumber sejarah peradaban, terutama
sejarah bangkit dan runtuhnya semangat kesatriaan.
Sebagai dokumen sosial, sastra dapat dipakai untuk menguraikan
ikhtisar sejarah sosial. Namun, menurut Wellek dan Warren (1994) harus
dipahami bagaimana protret kenyataan sosial yang muncul
dari karya sastra? Apakah karya itu dimaksudkah sebagai gambaran
yang realistik? Ataukah merupakan satire, karikatur, atau idealisme Romantik?
Dalam hubungan antara karya sastra dengan kenyataan, Teeuw (1988:228)
menjelaskan bahwa karya sastra lahir dari peneladanan terhadap kenyataan,
tetapi sekaligus juga model kenyataan. Bukan hanya satra yang meniru kenyataan,
tetapi sering kali juga terjadi sebuah norma keindahan yang diakui
masyarakat tertentu yang terungkap dalam karya seni, yang kemudian
dipakai sebagai tolok ukur untuk menyataan.
Kajian sosiologi karya sastra memiliki kecenderungan untuk tidak
melihat karya sastra sebagai suatu keseluruhan, tetapi hanya tertarik kepada
unsur-unsur sosiobudaya yang ada di dalam karya sastra. Kajian hanya
mendasarkan pada isi cerita, tanpa mempersoalkan struktur karya sastra. Oleh
karena itu, menurut Junus (1986:3-5), sosiologi karya sastra yang melihat karya
sastra sebagai dokumen sosial budaya ditandai oleh: (1) unsur (isi/cerita)
dalam karya diambil terlepas dari hubungannya dengan unsur lain. Unsur tersebut
secara langsung dihubungkan dengan suatu unsur sosiobudaya karena karya itu
hanya memindahkan unsur itu ke dalam dirinya. (2) Pendekatan ini dapat
mengambil citra tentang sesuatu, misalnya tentang perempuan, lelaki, orang
asing, tradisi, dunia modern, dan lain-lain, dalam suatu karya sastra atau
dalam beberapa karya yang mungkin dilihat dalam perspektif perkembangan. (3)
Pendekatan ini dapat mengambil motif atau tema yang terdapat dalam
karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan di luar karya
sastra.
Pendekatan ini ada kecenderungan melihat hubungan langsung (one-to
one-cerrespondence) antara unsur karya sastra dengan unsur dalam
masyarakat yang digambarkan dalam karya itu (Swingewood, via Junus, 1986:7).
Oleh karena itu, pengumpulan dan analisis data bergerak dari unsur karya sastra
ke unsur dalam masyarakat, dan menginterpretasikan hubungan antara keduanya.
Analisis hendaknya mempertimbangkan apa yang dikemukakan oleh Wellek dan
Warren: apakah karya itu dimaksudkah sebagai gambaran yang
realistik? Ataukah merupakan satire, karikatur, atau idealisme Romantik?
2. Penyelidikan Mengenai Penghasilan dan
Pemasaran Karya Sastra
Dari
zaman ke zaman, sastra terus diproduksi dan disebarluaskan. Pada zaman dahulu,
penyebaran sastra lebih banyak dilakukan secara lisan, misalnya dalam
upacara-upacara adat. Beberapa tokoh seperti cenayang, pemuka adat, cendekiawan
kerajaan, atau pemimpin suku, sangat berperan dalam produksi serta
penyebarluasan sastra. Masyarakat pada waktu itu pun merasa dan menganggap
produk-produk sastra merupakan bagian dari keseharian mereka.
Dalam
perkembangannya, produk karya sastra lebih banyak disebarluaskan melalui media
cetak. Wellek dan Warren (1993:176) mengungkapkan bahwa sarana tradisi lisan
yang secara teoretis bisa dipakai untuk menyelamatkannya ternyata gagal
berfungsi atau putus. Tulisan dan terutama cetakan telah memungkinkan
kesinambungan sejarah sastra, serta banyak meningkatkan keutuhan dan kesatuan
dalam sejarah puisi. Bahkan, lukisan grafis telah menjadi bagian dari puisi.
Industri penerbitan buku mendapatkan gairah baru ketika reformasi bergulir. Di
wilayah Yogyakarta yang berpredikat sebagai kota budaya, kota pendidikan, kota
pelajar, dan sebagainya, lahir penerbit-penerbit alternatif seiring melajunya
roda reformasi. Tema-tema buku yang diusung
penerbit-penerbit alternatif ini pun sangat beragam. Semua memberikan nuansa
baru dalam dunia wacana perbukuan Indonesia dan banyak memberikan pencerahan
pemikiran bagi pembacanya.
Bagaimana
keberadaan buku-buku sastra saat ini? Apakah keberlangsungannya seiring sejalan
dengan banyaknya penerbit yang bermunculan? Jika dicermati, hampir semua
penerbit di Yogyakarta menerbitkan buku sastra, baik itu esai, fiksi, puisi,
ataupun drama. Walau demikian, banyak kalangan penerbit, toko buku dan penulis
yang merasa pesimis terhadap keberlanjutan buku-buku sastra yang beredar saat
ini, baik secara isi maupun tingkat penjualannya.
Walaupun
penjualan buku-buku sastra sangat memprihatinkan, tetapi tetap saja ada buku
sastra yang eksis dan para penerbit tetap menerbitkan buku-buku sastra. Escarpit
(2005:16) menegaskan bahwa salah satu unsur terpenting dari fakta sastra adalah
buku. Dunia sastra berhutang banyak pada dunia penerbitan. Keduanya memiliki
relasi yang saling signifikan. Bahkan, Wellek dan Warren (1993:177) berpendapat
bahwa percetakan merupakan bagian penting dari penciptaan puisi modern, karena
puisi juga dibuat untuk dilihat, bukan hanya untuk didengar. Hal inilah yang
menarik dan perlu dikaji secara akademis oleh para pencinta sastra.
Dalam Penelitian
mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra ini menyentuh empat aspek
yaitu:
1. Penulis an latar belakang sosial budaya
Ada enam faktor yang berhubungan dengan aspek ini yaitu: asal
sosial, kelas sosial, seks, umur, pendidikan dan pekerjaan.
· Pada faktor
yang berhubungan dengan asal sosial, menyentuh latar belakang seseorang sebelum
menjadi penulis. Kebanyakan penulis Indonesia sebelum perang dunia kedua
berasal dari kampung, walaupun sebagai penulis mereka orang kota. M. Bradbbury
& B.Wilson (1971:13) misalnya melihat pekerjaan bapaknya seorang penulis.
· Kelas
sosial diartikan secara luas di sini, menyangkut juga tentang status atau
pengertian berikut: orang kampung, orang kota, birokrat dan bukan, minoriti dan
mayoriti.
· Seks dan
umur tidak perlu penjelasan. Hanya perlu dicatat bahwa penulisan satra melayu
lebih banyak dilakukan oleh penulis pria dan relatif usia muda. Ini berbeda
dengan yang ada di Eropa Barat dan Amerika, sehingga persoalan seks dan umur
tidak diberi perhatian khusus oleh Diana Laurenson (1972).
· Faktor
pendidikan dihubungkan oleh Bradbury dan Wilson (13) dengan kelas sosial.
Tetapi keadaan setempat dapat memberikan informasi lain. Penulis Melayu mungkin
berpendidikan sekolah agama atau melayu. Tetapi mungkin juga berependidikan
Barat, Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia.
· Faktor
pekerjaan tidak diperhatikan oleh ketiga-tiga karangan tadi, sehingga saya
berikan sendiri. Seseorang mungkin menulis sebagai pekerjaan sambilan. Atau
melakukanya sebagai pekerjaan utama karena tidak terikat oleh pekerjaan lain
Hubungan antara sastrawan, latar belakang sosial budaya, dan
karya sastra yang ditulisnya misalnya tampak pada karya-karya Umar Kayam,
seperti Para Priyayi dan Jalan Menikung. Umar Kayam,
sebagai sastrawan yang berasal dari masyarakat dan budaya Jawa priyayi,
mengekspresikan kejawaanya dalam karya-karyanya tersebut. Dalam novel tersebut
digambarkan bagaimana para tokoh yang hidup dalam masyarakat dengan konteks
budaya Jawa menghayati dirinya sebagai manusia yang tidak terlepas dari
persoalan stratifikasi sosial masyarakat Jawa yang mengenai golongan priyayi
dan wong cilik, yang berpengaruh dalam tata sosial dan pergaulan dalam
masyarakat. Di samping itu juga bebet, bobot, bibit dalam hubungannya dengan
kasus perkawinan.
2. Hubungan antara penulis dan pembaca
Memperlihatkan dua kemungkinan:
Pertama pasar yang sudah jelas: Dalam hal ini
seseorang telah digaji menulis untuk kepentingan seseorang atau kelompok orang-
meskipun mungkin mereka tidak membaca atau mendengarmya. Disini ada sistem
patronage seperti yang dikatakan pada kesusateraan melayu klasik. Penulis
(istana) dikatakan dibiayai oleh raja. Termasuk kerjasama para penulis-penulis
tertentu sebagai tim penulisan dan pengadaan buku-buku
Depdiknas dengan pemerintah dimana mahasiswa dan kaum terpelajar
sebagai obyek pembacanya dalam rangka pemenuhan kurikulum sekolah,
termasuk pelajaran-pelajaran sastra dalam kurikulum Bahasa Indonesia dan
pelajaran-pelajaran sastra dalam kurikulum muatan lokal dari tiap-tiap daerah
pada masing-masing sekolah.
Kedua pasar yang belum jelas: (yang ada cuman
calon pembaca). Hasil yang diperoleh seorang penulis dari tulisanya
ditentukan oleh pemasaranya. Meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit sosiologi
penerbitan dan distribusi karya sastra, Robert Escarpit (2005) memberikan
perhatiannya yang khusus terhadap keberadaan penerbitan dan distribusi karya
sastra. Menurut Escarpit (2005:74) penerbit memiliki tiga pekerjaan yaitu:
memilih, membuat (fabriquer), dan membagikan buku. Ketiga kegiatan
tersebut saling berkaitan, masing-masing bergantung satu sama lain, dan saling
mempengaruhi, serta membentuk suatu siklus yang merupakan keseluruhan
kegiatan penerbitan. Ketiga kegiatan tersebut mencakup bidang pelayanan
terpenting untuk suatu penerbit: komite sastra, kantor penerbitan, dan bagian
komersial.
Penerbitan memiliki fungsi yang amat vital bagi keberadaan
sebuah karya (sastra dan lainnya), karena dialah yang mengantar suatu karya
individual ke dalam kehidupan kolektif (Escarpit,
2005:74) Dalam kehidupan modern penerbit ibarat seorang bidan yang mampu
melahirkan para penulis karena karyanya dicetak, diterbitkan, dan
disebarluaskan kepada masyarakat. Namun, sebelum suatu karya sampai ke tangan
pembaca, penerbit harus menjalankan beberapa kegiatan, mulai dari memilih
naskah, disusul dengan mencetak dan menerbitkannya.
Menurut Junus (1988:11) penerbit telah menggantikan fungsi
patron (pelindung atau induk semang), tetapi dengan tujuan yang berbeda dengan patron,
yaitu untuk mencari keuntungan. Hubungan antara penerbit dengan penulis tetap
terjalin selama mereka masih terikat oleh kontrak. Apabila sistem royalti yang
dipilih, dan bukan sistem beli putus, maka secara berkala penerbit akan
melaporkan hasil penjualan buku kepada penulis dan membagi royaltinya.
3.Pemasaran hasil sastra
a. Seleksi Naskah
Dalam kegiatan seleksi, penerbit atau orang yang ditugasi telah
membayangkan calon publiknya. Dari berbagai naskah yang ada ia akan memilih
mana yang paling cocok untuk konsumsi publik tersebut (Escarpit, 2005:74).
Bayangan atau perkiraan itu memiliki dua sifat yang saling bertentangan: antara
penilaian tentang apa yang diinginkan calon publik dan penetapan nilai karya,
tetapi juga tentang selera bagaimana yang harus dimiliki publik tersebut
mengingat sistem etis moral masyarakat di mana kegiatan penerbitan itu
dilakukan. Pertanyaan semacam: Apakah buku itu akan laku? Atau Apakah buku itu
baik? (Escarpit, 2005:75) juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan naskah yang
akan diterbitkan.
Ketika memilih untuk menerbitkan novel Saman karya
Ayu Utami, atau kumpulan cerita pendekMereka Bilang, Saya Monyet karya
Djenar Maesa Ayu, misalnya penerbit Gramedia tentunya sudah membayangkan
siapakah calon komsumen kedua karya tersebut. Dalam kasus tertentu, sebuah buku
ditolak oleh sebuah penerbit, sering kali bukan karena alasan kurangnya
kualitas isi buku, tetapi penerbit tidak mampu membayangkan siapa calon
konsumennya, sehingga tidak dapat memperkirakan apakah setelah dicetak dan
diterbitkan sebuah buku dapat laku si pasaran. Novel Merahnya Merah karya
Iwan Simatupang ditolak oleh sejumlah penerbit akhir tahun 1960-an, karena gaya
penulisan dan ceritanya yang inkonvensional. Demikian pula, novel Cantik
Itu Luka karya Eka Kurniawan, juga pernah ditolak oleh penerbit
Gramedia, untuk kemudian diterima penerbit Jendela, Yogyakarta. Setelah
mendapatkan pembaca yang cukup banyak, novel tersebut kemudian diminta oleh
penerbit Gramedia.
Menurut Escarpit (2006) yang terpenting harus diperhatikan dalam
proses seleksi buku adalah adanya publik dalam teori atau publik yang
diperkirakan. Pilihan harus dibuat atas nama publik dan untuk
memenuhi kebutuhannya
b. Pembuatan Buku
Proses pembuatan buku menurut Escarpit (2006:77) didasari oleh
prinsip ingat pembaca. Tergantung apakah yang akan dicetak itu buku
mewah untuk publik peninta buku ataukah buku populer yang murah. Segalanya akan
berbeda: kertas, format, tipografi (pilihan huruf, margin, kepadatan halaman,
dll.), ilustrasi, jahitan, dan terutama jumlah eksemplar yang akan dicetak.
Sejak memilih penerbit sudah harus mengitung: berhubung buku itu telah dipilih
dengan kualitas tertentu, dengan tujuan publik tertentu, maka ia harus memiliki
karakteristik materi tertentu yang sudah ditetapkan.
Dalam kegiatan pembuatan buku, cara penyampaian juga perlu
diperhatikan (Junus, 1984:12). Apakah sebuah naskah akan disampaikan dalam
bentuk buku atau dalam penerbitan berkala. Novel akan menjadi
suatu yang bulat atau utuh apabila disampaikan dalam bentuk buku. Tidak
demikian halnya apabila disampaikan secara feuilleton (cerita
bersambung), yang bersambung dalam suatu majalah atau koran. Namun, cara yang
kedua dapat menyebabkan suatu karya populer, sedangkan cara pertama
tidak. Beberapa kasus publikasi novel di Indonesia, diawali dari
cerita bersambung, untuk selanjutnya diterbitkan menjadi novel. Misalnya Student
Hijokarya Marco Kartodikromo bermula dari cerita bersambung di
surat kabar Sinar Hindia (1918),Burung-burung Rantau (Mangunwijaya), Rara
Mendut, Lusi Lindri, dan Genduk Duku(Mangunwijaya), Ronggeng
Dukuh Paruk (Ahmat Tohari), dan Bekisar Merah (Ahmat
Tohari).
c. Distribusi Buku
Setelah buku dicetak dan diterbitkan, yang akan dilakukan
selanjutnya adalah bagaimana mendistribusikan buku untuk sampai kepada
publiknya. Distribusi yang umum adalah penjualan, walaupun ada juga distribusi
yang gratis (cuma-cuma). Buku-buku karya sastra, hasil penelitian, maupun teori
bahasa dan sastra yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Jakarta, pada umumnya
tidak didistribusikan dalam bentuk penjualan umum, namun dikirimkan ke sujumlah
lembaga (perpustakaan, sekolah, perguruan tinggi yang terkait) sebagai hadiah
iklas. Namun, cara yang ditempuh oleh Pusat Bahasa menyebabkan distribusi yang
terbatas. Lebih parah lagi menimbulkan budaya fotocopi, yang notabene sama
dengan pembajagan buku, sehingga akan merugikan penulis dan penerbitnya.
Untuk mencapai kesuksesan, penjualan buku harus melalui berbagai
teknik. Teknik diskon dan promosi merupakan dua hal yang dapat disebut karena
banyak dilakukan oleh penerbit di Indonesia. Di sejumlah toko buku di
Yogyakarta, misalnya teknik diskon (10 – 30%) telah berhasil mendongkrak
penjualan sebuah buku. Menurut Escarpit (2006) promosi memang harus dilakukan,
mulai dari cara yang paling sederhana sampai yang canggih. Cara yang paling
sederhana adalah pencantuman buku ke dalam daftar pustaka (bibliografi) seperti
yang banyak dilakukan di sebagian besar negara. Di sejumlah kota
besar di Indonesia sering dipakai teknik promosi, bedah buku dan pertemuan
dengan penulis yang diselenggarakan oleh komunitas tertentu. Moment pameran
buku dengan diskon penjualan yang sering diselenggarakan di sejumlah kota besar
di Indonesia juga efektif sebagai ajang promosi buku. Bedah buku Laskar
Pelangi dan Sang Pemimpikarya Andrea Hirata, seorang
novelis pendatang baru pertengahan 2000-an, di sejumlah kota dengan
menghadirkan sejumlah kritikus dan telah berhasil mendongkrak penjualan kedua
karya tersebut.
Teknik promosi dan distribusi buku sekarang telah memanfaafkan
jaringan internet. Toko buku Gramedia, misalnya memiliki situs http://www.gramediacyberstore.com.
Dengan masuk ke situs tersebut kita akan menemukan informasi sejumlah buku baru
yang kita perlukan, bahkan juga dapat memesan dan membelinya melalui kartu
kredit, dan menunggu buku tersebut dikirim ke rumah atau alamat kita. Dalam http://wartabuku.wordpress.com/category/bentang kita
juga dapat menemukan informasi sejumlah buku baru, lengkap dengan resensi
terhadap buku-buku tersebut.
Cara pemasaran juga penting (Junus, 1984:12-13). Yang
bersifat komersial akan menyerahkan seluruhnya kepada selera pembaca. Orang
membeli suatu karya karena sesuai dengan seleranya, bukan “terpaksa” karena
tujuan tertentu. Dalam keadaan yang tidak komersial suatu karya laris karena
dibeli oleh suatu badan atau disebarluaskan secara cuma-cuma, digunakan sebagai
buku bacaan sekolah, atau seorang harus membacanya karena menempuh ujian
tertentu. Contoh, beberapa buku sastra di Indonesia dicetak dan dibeli oleh
Depdiknas atau Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk disebarluaskan
secara cuma-cuma ke perpustakaan sekolah maupun Perguruan Tinggi.
4. Pasaran hasil sastra
Sebuah buku mungkin dapat mencapai pemasaran yang baik dan luas,
atau sebaliknya pemasarannya kurang baik dan terbatas. Pemasaran yang baik
memungkinkan seorang penulis dapat hidup dari hasil penjualan karyanya. Dia
dapat hidup dari penghasilannya sebagai penulis. Sebaliknya, pemasaran yang
kurang baik akan memaksa seorang penulis mencari pekerjaan lain,
atau hidup dalam keadaan yang relatif miskin.
Jumlah pengguna suatu bahasa dapat menentukan pasaran. Buku
dalam bahasa Inggris mungkin mempunyai pasaran yang luas karena bahasa Inggris
merupakan bahasa dunia. Tetapi ini tidak mutlak. Pengguna bahasa Melayu lebih
besar dari pada pengguna bahasa Belanda. Tetapi jumlah judul dalam jumlah cetak
buku dalam bahasa Belanda lebih besar dari pada dalam bahasa Melayu. Ada faktor
lain yang menentukan. Peratus pengguna bahasa Belanda yang tahu menulis dan membaca
adalah lebih tinggi. Pendidikan mereka juga relatif lebih tinggi/lama. Dan yang
paling penting adanya minat membaca yang yang besar telah mentradisi, ditambah
dengan faktor ekonomi. Mereka dapat menyisihkan uang untuk membeli buku. Antara
keduanya ada perbedaan sistem nilai yang berhubungan dengan perbeedaan
perkembangan budaya.
Dalam hubungan dengan pemasaran karya perlu diperhatikan juga
siapa pembacanya. Bonneff (via Junus, 1986) menghubungkan komik
dengan bacaan anak-anak dan orang-orang yang tidak tahu sastra. Labrousse (via
Junus, 1986) menghubungkan majalah populer dengan remaja.
Pertumbuhan awal novel di Inggris dengan pembaca wanita (Fiedler, via Junus,
1986).
Kesimpulan :
ü Pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada
aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan
gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu
bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi,
difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali
menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi,
refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
ü Dalam proses penyelidikan penghasilan dan pemasaran
karya sastra, Peranan penerbit menjadi lebih penting karena ia mempertimbangkan
karya yang akan diterbitkan, pertimbagan berdasarkan selera,
keyakinan dan kemungkinan pemasaranya. Sebuah karya mungkin sesuai dengan
selera atau keyakinanya. Atau ia hanya mencari uang. Peranan penerbit juga
berhubungan dengan promosi yang dapat menarik orang untuk membaca sebuah karya.
Penerbit menjadi perantara antara penulis dan (calon) pembaca.
Daftar Pustaka
Saparie Gunoto. 2007. Luasnya Wilayah Sosiologi Sastra.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Junus Umar. 1986. Sosiologi Sastera: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
Sumardjo, Jakob. 1983. Sastra
Populer dan Pengajaran Sastra. Jakarta: CV Rajawali
Comments
Post a Comment