Ketika Menolong Dianggap Sebuah Pelanggaran

Tergelitik untuk menceritakan sebuah kisah dimana tolong menolong dianggap sesuatu yang melawan aturan di negeri ini. Kedengarannya memang aneh, tapi inilah realita yang tejadi.

Tiga tahun yang lalu tepatnya di deck dua kelas ekonomi kapal Pelni tujuan Bima-Makassar, saya bertemu dengan pasangan suami istri yang hendak beradu nasib ke Kalimantan Selatan. Perkenalan kami dimulai ketika saya meminta kepada mereka untuk membagikan air panas yang mereka simpan dalam botol air minum kemasan yang suaminya ambil di pantry kapal saat jam makan malam. Dengan ramah, istrinya menuangkan air panas secukupnya ke dalam mie instant cup yang saya punya. Dikarenakan persediaan mie cup yang dibawa dari rumah cukup banyak, saya pun menawarkan kepada mereka untuk mengambil beberapa mie tersebut untuk dimakan bersama-sama.

“Setidaknya bisa menetralisir bau amis ikan dalam box makan malam tadi” Tutur istrinya. Saya pun melempar senyuman tanda setuju akan hal itu. “Itulah sebabnya selama masa pelayaran, saya tidak pernah berselera untuk mencicipi makanan yang disediakan kapal. Takut muntah”. Balasku.

Sejak saat itu, saya mulai akrab dengan pasangan muda yang baru pertama kali keluar daerah ini. Dikarenakan tempat tidur kami bersebelahan, gampang bagi kami untuk saling bertukar makanan, bercerita bahkan keluar bersama sekedar menghirup udara segar di bagian luar deck kapal.

Singkat cerita, keesokan harinya kapal kami pun sandar di Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar petang hari. Untuk menghindari berdesak-desakkan, saya memutuskan untuk turun terakhir saja. Terlihat buruh-buruh kuli panggul berdiri menawarkan jasa angkat barang pada setiap penumpang yang hendak turun. 

“Dek, di luar pelabuhan ada orang jual makanan? Kami ingin membeli nasi bungkus,  beberapa makanan kecil, dan obat  sebagai bekal perjalanan kami selanjutnya”

“Iya, Kak. Banyak. Emang jam berapa lagi kapal ini akan berlayar ke Kalimantan?” Tanyaku penasaran.

“Di tiket ditulis pukul 21.00 malam ini. Kalau begitu kita turun sama-sama saja sekalian saya bantu bawakan barangnya adek. Biar istriku jaga barang kami saja di atas kapal, berhubung dia lagi tidak enak badan juga”

“Oh, kalau begitu baik Kak” Jawabku dengan senang hati. 

Ketika kami hendak bersiap-siap untuk turun. salah satu buruh berperawakan tinggi yang sedari tadi memperhatikan kami menawarkan untuk membawakan barang. Awalnya dengan ramah saya katakan tidak. Saya jelaskan ada kakakku yang akan membantu.  Namun dia terus mendesakku membuat situasi menjadi tidak nyaman.

“Kakak ta yang mana? Maksudnya yang berdiri disamping ta itu?” Kata buruh dengan logat Makassar yang kental.

“iya” Jawabku tegas.

“Yang jelas bukan kakak kandung ta tho?

“Terus masalahnya kenapa kalau dia bukan kakak kandung saya. Berhubung dia juga mau turun, tidak masalah kan kalau sekalian menolong” Balasku dengan nada suara yang sedikit tinggi.

“Ow, tidak bisa begitu. Aturanya di sini, sudah menjadi hak kami untuk angkatkan barangnya setiap penumpang yang mau turun”

“Jadi maksud Anda, menolong itu adalah suatu kesalahan? Maaf,sejak kapan aturan itu dibuat? Atau jangan-jangan aturan tersebut dibuat oleh Anda sendiri. Kalau begitu, Anda juga tidak berhak mengambil hak kami dan para penumpang kapal lainnya”

“Maksudnya apa?”

“Menurut aturan, seharusnya setiap kasur dan tempat tidur yang ada di ruangan ini adalah fasilitas kapal yang seharusnya bebas kami nikmati secara gratis. Namun, beberapa orang dari kalian justru menjadikannya sebagai lahan bisnis, dengan menjual kembali kepada penumpang. Maraup untung di atas hak orang lain. Bukankah itu sesuatu pelanggaran yang berat?”

Dari dekat terlihat begitu jelas, buruh yang berpakaian seragam hijau tua itu menampakkan raut wajah yang tidak senang dihadapan saya.

Merasa perdebatan tidak kunjung usai saya memilih diam. Saya lihat di sekeliling, buruh-buruh yang lain pun datang memperhatikkan kami. Waktu itu, kondisi saya sangat tidak berdaya. Saya sungguh ingin mempertahankan apa yang saya anggap benar namun di sisi lain saya harus segera turun mengantarkan pemuda Lombok ini membeli obat demam dan makanan untuk istrinya karena waktu sudah hampir malam. Akhirnya dengan terpaksa dan berat hati saya biarkan barang bawaanku dibawa oleh buruh tersebut dengan harga yang tidak masuk akal untuk hitungan satu kardus dan koper kecil. Saya sangat kecewa.

Namun, seiring berjalannya waktu, apa yang saya alami di atas, sempat juga pernah dialami oleh ibu saya saat pulang berlibur akhir tahun kemarin. Ketika ibu telah bersusah payah mendapatkan tempat tidur untuk teman dan anak-anak mereka, justru  buruh nakal kembali melakukan hal yang serupa yaitu  memintanya sejumlah uang atas tempat itu yang Ia klaim sebagai kepunyaanya. Namun, berbeda dengan saya, Ibuku pada akhirnya berhasil baradu argument dan menolong temannya tersebut.

Kejadian-kejadian di atas menjadi contoh bahwa menolong seseorang bisa berubah menjadi pelanggaran dalam situasi-situasi tertentu. Kondisi seperti ini mungkin bisa kita jumpai dalam bentuk yang berbeda-beda di lingkungan sekitar kita seperti kasus di pengadilan, hubungan antara partai-politik, hubunganan antara rekan bisnis, dan lain sebagainya. Atas nama uang, kekuasaan dan jabatan semu, tindakan-tindakan nakal seperti itu mampu membuat orang-orang melupakan satu persatu nilai kebaikan yang ada dalam diri mereka salah satunya yaitu  tolong-menolong. Ataukah jangan-jangan  ini sudah menjadi aturan baru di negeri ini? Entahlah..

Comments

Popular Posts